Selasa, 14 Juli 2009

Thanksgiving Spirit

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on November 20, 2007 with the title November Thought: Thanksgiving Spirit.

Mengucap syukur dalam segala hal adalah Firman Tuhan yang tidak bisa kita sangkal dan harus kita lakukan (I Tesalonika 5:18). Semua orang Kristen tahu hal ini dan kita pun juga pasti tahu hal ini. Karena itu ketika kita bangun pada pagi hari kita mengucap syukur. Demikian juga ketika kita hendak tidur pada malam hari. Selain itu, kita mengucap syukur ketika kita akan makan atau berangkat sekolah atau sembuh dari sakit atau naik kelas dan lain-lain.

Setelah agak lama kita mengenal Tuhan dan Firman-Nya, kita dibuat mengerti bahwa mengucap syukur dalam segala hal berarti dalam hal besar maupun hal kecil. Kita diselamatkan karena Karya Salib dari Allah Tritunggal dan kita mengucap syukur. Untuk orang tua, teman-teman, gereja, sekolah, negara, bangsa kita mengucap syukur. Kita mendapatkan pacar dan kita memenangkan lomba kita mengucap syukur. Demikian juga kita sekarang mengucap syukur atas hal-hal kecil yang kita alami mulai dari nafas hidup yang selalu Tuhan berikan kepada kita sampai saat ini dan matahari yang selalu bersinar di pagi hari dan bekal makan siang maupun hal-hal lain yang sepertinya dianggap oleh orang lain sepele.

Kita juga mengerti bahwa mengucap syukur dalam segala hal berarti mengucap syukur dalam senang maupun susah. Kita mengucap syukur ketika segala sesuatunya lancar dalam kehidupan kita karena kita mengerti bahwa semua itu dapat terjadi karena kebaikan Tuhan dalam kehidupan kita. Kita mengucap syukur juga ketika kita mendapat halangan dan rintangan dalam hidup karena kita mengerti bahwa hal-hal tersebut diizinkan Tuhan terjadi dalam kehidupan kita dengan suatu alasan yang mungkin tidak dapat kita mengerti saat ini.

Tapi satu hal yang perlu kita pikirkan bersama adalah apakah kita sudah mengucap syukur dengan benar selama ini? Apakah mengucap syukur sama dengan sekedar mengatakan terima kasih atas apa yang kita terima? Apakah kita sudah melakukan mengucap syukur dalam segala hal ketika kita berdoa dan mengatakan terima kasih Tuhan untuk ini dan itu yang baik maupun buruk?

Marilah kita mengerti terlebih dahulu suatu hal. Yaitu bahwa yang dari tadi kita bicarakan tidaklah salah. Bahkan hal-hal yang kita bicarakan sedari tadi merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan dan merupakan suatu pencapaian yang cukup signifikan dalam hubungan kita dengan Tuhan jikalau kita dapat melaksanakannya. Tetapi sebagai orang Kristen yang sejati, kita perlu menuntut diri untuk mengerti lebih jauh mengenai suatu kebenaran dan aplikasinya dalam kehidupan kita. Jadi, apakah yang dapat kita tambahkan kepada pengetahuan kita tentang mengucap syukur? Mari kita untuk saat ini melihat kepada dua hal berikut ini.

Pertama. Selama ini, dalam melakukan thanksgiving atau pengucapan syukur, kita memiliki konsep melakukannya karena telah menerima sesuatu atau melihat sesuatu atau menyadari sesuatu. Ini membuat kita menganggap mengucap syukur sebagai suatu reaksi atas sesuatu aksi yang terlebih dahulu terjadi. Konsep ini begitu mendarah daging di dalam kehidupan kita sehingga kita seringkali kerepotan ketika kita ingin melalukan prinsip mengucap syukur dalam segala hal. Kita mengucap syukur untuk rutinitas dan keseharian kita, tetapi kemungkinan besar kita akan sulit mengucap syukur untuk seragam sekolah atau baju kuliah kita karena jarang sekali kita menyadari keberadaan mereka. Demikian juga ketika kita melihat televisi dan melihat berita bencana alam kita akan sulit sekali memaksa diri mengucapkan terima kasih untuk bencana tersebut. Mungkin kita akan mendoakan para korban dan proses penanggulangan bencana tersebut, tetapi hampir mustahil kita mengucap syukur atas bencana tersebut. Sama seperti ada ribuan hal lain setiap hari yang kita lewatkan karena tidak terpikirkan dalam pikiran kita untuk mengucap syukur.

Beranjak dari titik ini, kita harus mengerti bahwa mengucap syukur dalam segala hal (in all circumstances) sedikit berbeda dengan mengucap syukur atas segala hal. Jika kita melakukan pencarian kilat di Alkitab, maka kita akan menemukan bahwa sebenarnya sebagian besar pengucapan syukur diberikan atas hal-hal yang baik yang terjadi. Perjanjian Lama mencatat seruan ucapan syukur adalah karena kebaikan Allah dan kasih setia Tuhan yang untuk selama-lamanya. Bukan untuk kemalangan. Perjanjian Baru mencatat ucapan-ucapan syukur dengan maksud yang sama. Satu hal yang cukup mengejutkan karena banyak orang Kristen selama ini berpikir bahwa kita mengucap syukur atas segala hal. Tetapi jika kita perhatikan lebih jauh, maka kita akan melihat bahwa dalam kondisi-kondisi yang buruk, Alkitab mencatat pula, ucapan syukur dan pujian tetap dapat dinaikkan. Ayub, misalnya, mengakui bahwa kehilangan-kehilangan yang dia alami merupakan suatu hal yang buruk. Tetapi dia tetap memuji Allah. Bukan karena Allah berbuat jahat padanya, tetapi semata-mata karena Allah patut dipuji (Ayub 1).

Dalam segala hal mengindikasikan bahwa ucapan syukur bukanlah one word for one cause yang artinya kita mengucapkan satu kata (syukur) untuk setiap satu per satu kejadian yang kita alami. Dalam segala hal atau in all circumstances mengindikasikan one cause for one word atau hanya ada satu alasan bagi kita untuk bersyukur. Mengucap syukur bukanlah reaksi semata tetapi merupakan suatu gaya hidup yang didasarkan pada suatu pemahaman bahwasanya Tuhan baik dan untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Sehingga apapun yang terjadi tidak akan membuat kita lebih sulit atau lebih mudah mengucap syukur karena mengucap syukur berbicara mengenai Allah yang patut menerimanya dan bukan karena kejadian yang pantas atau tidak pantas untuk disyukuri.

Kedua. Dalam bahasa Indonesia, kata mengucap syukur terkesan memiliki arti yang ringan. Kita lupa bahwa dalam begitu banyak versi Alkitab bahasa Inggris, frasa tersebut diterjemahkan menjadi thanksgiving atau give thanks dan bukan sekedar say thanks saja. Demikian pula dalam bahasa asli Alkitab dipergunakan beberapa istilah yang memiliki bobot makna lebih dari sekedar mengucapkan terima kasih semata. Ini merupakan suatu hal yang serius karena mengucap syukur dalam konteks memberi syukur (give thanks) ternyata membawa suatu bobot pengorbanan. Di Perjanjian Lama, dapat kita jumpai bahwa seringkali ucapan syukur disertai dengan suatu korban ucapan syukur. Inilah yang disebut dengan thanksgiving sacrifice. Sesuatu yang seharusnya juga menjadi motto kita dalam kehidupan kita hari ini. Hal ini pulalah yang perlu kita kerjakan seiring bertambahnya usia dan kedewasaan rohani kita.

Mengucap syukur bagi seorang dewasa rohani membawa suatu tuntutan pengorbanan di dalamnya. Kebaikan Tuhan yang kita terima di dalam kebhidupan kita merupakan suatu modal awal bagi kita untuk kita bekerja bagi Tuhan terhadap sesama kita. Dengan mengerti hal ini, kita akan menggeser orientasi ucapan syukur kita dari sesuatu yang egois (karena hanya kita yang merasakannya) menjadi sesuatu yang lebih mementingkan Tuhan, pekerjaan-Nya, dan orang-orang yang dikasihi-Nya. Itulah artinya kita memberikan syukur kita dan bukan sekedar mengucapkannya. Dan dengan mengerti hal ini, tidak bisa lagi kita mengatakan kepada Tuhan terima kasih lalu melarikan diri. Di masa Perjanjian Lama, kita dapat membawa korban syukuran dan mempersembahkannya di mezbah. Pada hari ini, kita harus membawa diri kita sendiri dan mempersembahkannya di hadapan Tuhan. Seharusnya, sudah lewat masa bagi kita untuk mengatakan, ”Tuhan, terima kasih untuk kebaikan-Mu yang telah aku terima” saja. Tetapi sudah saatnya bagi kita untuk melanjutkan doa ucapan syukur kita itu dengan satu pertanyaan, ”kini apa yang Kau mau aku perbuat dengan kebaikan-Mu tersebut, Tuhan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar