Selasa, 14 Juli 2009

On Leadership

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on November 7, 2008 with the title On Leadership.

Bulan November 2008 ini merupakan bulan yang akan dikenang oleh orang di seluruh dunia sebagai bulan yang bersejarah. Saat ini, dunia sedang dilanda oleh krisis finansial dan perekonomian yang paling parah dalam sejarah perekonomian modern. Perusahaan-perusahaan keuangan raksasa satu per satu bangkrut. Harga minyak dan emas dan komoditas lainnya naik dan turun seperti mainan yoyo raksasa. Menyebabkan neraca perusahaan-perusahaan besar dan kecil berantakan. Amerika Serikat yang demikian adidaya malah merupakan sumber permasalahan dan mengalami kerugian yang paling besar. Rekor persentase kemajuan pasar modal Cina kini kalah oleh rekor persentase penurunannya. Bahkan Indonesia, Singapura, Australia, dan semua negara lain yang mungkin pernah kita kunjungi juga mengalami akibatnya. Dan inilah yang membuat bulan November ini akan sangat dikenang oleh banyak orang. Di bulan inilah akan dipilih presiden Amerika Serikat berikutnya yang akan memerintah selama 4 tahun ke depan.

Editorial ini ditulis pada minggu ketiga Oktober, tiga minggu sebelum peristiwa bersejarah itu terjadi. Saat kita membaca tulisan ini, mungkin presidennya bahkan sudah terpilih. Tetapi ada satu hal yang penting yang mungkin lebih membawa pengaruh terhadap dunia ini daripada apakah John McCain atau Barrack Obama yang menang. Yaitu harapan bersama rakyat Amerika dan bahkan dunia ini bahwa terpilihnya pemimpin Amerika Serikat tersebut di tengah situasi krisis seperti ini akan membawa suatu pemulihan terhadap badai ini. Dan hal inilah yang menyebabkan seorang pemimpin menjadi seorang yang penting. Karena kehadirannya membawa perubahan dalam diri rakyatnya. Dari keputus-asaan menjadi kelegaan. Dari ketakutan menjadi ketenangan. Kelak memang dia harus membuktikan apakah dia mampu menjawab tuntutan rakyatnya tersebut. Tapi itu akhirnya sudah menjadi urusan nomor dua. Karena pada saat dia datang, perubahan yang paling mendasar sudah terjadi.

Inilah mungkin sebagian kecil yang dapat kita selami tentang perasaan orang Yahudi dalam menanti-nantikan kedatangan Mesias mereka. Orang atau sosok yang akan masuk ke kota Yerusalem di atas punggung seekor kuda dan memimpin mereka keluar dari penjajahan yang mereka alami sekian lama. Seperti Musa memimpin nenek moyang mereka keluar dari perbudakan di Mesir dengan segala keajaiban, seperti Gideon memimpin 300 orang mengalahkan musuh atau seperti Daud memimpin laskar Israel mengalahkan orang Filistin, itulah gambaran kepemimpinan yang diharapkan dari seorang Mesias. Tetapi seperti itukah Mesias yang akhirnya datang ke dalam dunia ini? Alkitab menuliskan ternyata Mesias ini mengerjakan hal-hal yang lebih besar daripada mengalahkan orang Romawi atau bahkan memulihkan perekonomian dunia pada hari ini.

Injil mencatat kelahiran Mesias yang hidup selama 33 tahun dengan nama Yesus bin Yusuf. Lahir di Betlehem dan besar di Nazaret. Dan lalu Injil menuliskan kepada kita bahwa Dia yang adalah Tuhan yang datang ke dunia ini menjadi manusia mengemban suatu misi memimpin orang percaya keluar dari perbudakan dosa menuju kemerdekaan di dalam iman. Inilah tugas memimpin yang paling besar dan mulia sepanjang sejarah dunia ini. Dan Yesuslah Sang Pemimpin yang agung, Gembala yang baik, Penasehat ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang kekal, Raja damai, Kristus, Yang diurapi, Mesias, Anak Allah, dan Tuhan kita.

Memang benar ada banyak sekali aspek dalam kepemimpinan. Dan kita akan tahu pada waktu kita masing-masing bahwa setiap dari kita terpanggil menjadi pemimpin dalam kapasitas kita masing-masing. Maka pada bulan November ini sebagai tema dari BUCKS kita akan melihat ke dalam beberapa aspek tentang kepemimpinan tersebut. Tetapi mari kita mulai dengan bersama-sama mengingat bahwa ketika kita berbicara soal kepemimpinan, maka kita tidak boleh melupakan kepemimpinan Yesus dalam kehidupan kita yang memimpin kita dari gelap menuju terang sehingga kita dapat melihat dengan benar dan melihat Dia untuk lalu menjadi serupa dengan Dia. Setelah itu barulah kita melihat siapa dan bagaimana panggilan memimpin itu tiba dalam diri kita. Salam pemimpin.

(Artikel ini dimuat di BUCKS edisi November 2008 sebagai Editorial)

How Christian Am I?

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on July 29, 2008 with the title How Christian Am I?


Semua umat beragama (agama apa saja) pasti memiliki konsep menjadikan apa yang mereka sembah sebagai pusat kehidupan mereka dengan satu dan lain cara. Itu sebabnya dalam kepercayaan polytheisme mereka memiliki dewa asmara, dewa rejeki, dewi pengetahuan, dewa petir, dan lain-lain. Yang tercermin dari penempatan “kementerian” dewa ini adalah bahwa di dalam setiap aspek hidup umat dirasakan suatu keperluan untuk mengandalkan sesuatu. Hal yang sama juga terlihat dalam kepercayaan monotheisme, animisme, hingga dinamisme yang secara umum percaya bahwa mereka tidak dapat melepaskan kepercayaan mereka dari hal panen hingga jodoh.


Yang menjadi pertanyaan bagi kita hari ini adalah 2 hal ini. Yang pertama yaitu apakah kita mengetahui bahwa kehidupan kita sebagai orang Kristen tidak dapat dipisahkan dari Tuhan kita? Dan yang kedua adalah ketika kita mengetahui bahwa kehidupan kita tidak dapat dipisahkan dari Tuhan kita, maka seperti apa konsep dari hubungan antara Tuhan dengan kehidupan kita tersebut?


Hari ini sebagian besar orang Kristen dapat digolongkan ke dalam kelompok yang tidak mengetahui jawaban pertanyaan pertama dan kelompok yang tidak mengetahui jawaban pertanyaan yang kedua. Mereka yang tidak mengerti jawaban pertanyaan yang pertama adalah mereka yang berpikir bahwa kehidupan Senin hingga Sabtu berbeda dengan kehidupan mereka di hari Minggu. Mereka lalu memisahkan sedemikian rupa kehidupan rohani dan kehidupan sekuler mereka dan berpikir bahwa itu adalah normal. Kelompok ini berdoa ketika bangun tidur, sebelum makan, dan saat akan tidur kembali. Mereka datang di gereja di hari Minggu (dan mungkin juga pada hari Rabu saat Persekutuan Doa maupun hari Sabtu pada saat pembinaan) dan mengikuti semua kegiatan dengan khidmat. Tetapi ketika mereka tiba kembali di hari Senin, mereka kembali pada semua kebiasaan buruk dan dosa mereka. Tuhan tidak ada di dalam studi mereka, maka mereka menyontek. Tuhan tidak ada di dalam pekerjaan mereka, maka mereka menghalalkan segala cara. Tuhan tidak ada di dalam hubungan mereka, sehingga mereka bergaul dengan orang-orang bermoral rendah dan terpengaruh oleh mereka.


Orang-orang Kristen yang tidak berada di kelompok pertama di atas kemungkinan besar berada di kelompok kedua ini. Mereka yang tidak mengerti jawaban pertanyaan yang kedua adalah mereka yang hidup terlibat dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan ada di dalam kehidupan mereka. Tetapi mereka tidak berusaha untuk mengenal Tuhan tersebut sehingga mereka tidak memiliki konsep yang benar tentang keterlibatan Tuhan di dalam hidup mereka tersebut. Akibatnya mereka menganggap Tuhan sebagai obyek semata dalam kehidupan mereka. Mereka berbicara mengenai Tuhan bahkan mungkin bersaksi mengenai Tuhan tetapi mereka tidak berusaha mengenal Tuhan lebih dalam. Mereka berdoa kepada Tuhan tetapi tidak memiliki pengertian doa yang memperkenankan Tuhan. Mereka menganggap Tuhan sebagai pemenuh kebutuhan (atau bahkan pemenuh keinginan) semata. Mereka “menyembah” kepada Tuhan yang memiliki atribut-atribut yang mereka tempelkan sendiri. Dan pada akhirnya sebagian besar dari mereka tidak lagi menyembah kepada Tuhan tetapi kepada kepercayaan diri mereka sendiri tentang Tuhan. Orang-orang ini tahu bahwa kehidupan finansial mereka berpusat pada Tuhan. Tetapi dengan pengenalan yang dangkal mereka hanya tahu bahwa Tuhan pasti memberkati mereka dalam hal finansial dan menjadikan mereka kaya. Mereka mau Tuhan terlibat dalam mereka mencari pasangan hidup. Tapi mereka menjadikan Tuhan sebagai mak comblang dengan memberikan sederet persyaratan kepada Tuhan atau menganggap semua mimpi sebagai petunjuk dalam memilih pasangan hidup. Mereka menjadikan Tuhan sebagai alat pemuas diri semata dan menganggap Tuhan mengerti hal tersebut dan akan memuaskan mereka sesuai kehendak mereka.


Jika apa yang kita perbincangkan sampai sejauh ini bahwa kebanyakan orang Kristen tergabung di dalam kedua kelompok ini adalah benar, maka berada di kelompok manakah kita? Apakah kita mengerti bahwa kedua kelompok di atas adalah kelompok yang ternyata masih belum memiliki hubungan dengan Tuhan yang benar? Tentunya kita tahu, pastilah ada kelompok ketiga yang ideal. Kelompok orang Kristen yang menjadikan Tuhan sebagai Penguasa dalam kehidupannya. Kelompok orang Kristen yang berintegritas dan dalam seluruh aspek hidupnya memuliakan Tuhan. Kelompok orang Kristen yang berjuang mati-matian menuruti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Kelompok orang Kristen yang menjadi garam dan terang di dunia mereka dan menjadi berkat bagi setiap orang di sekitar mereka. Kelompok orang yang sungguh-sungguh Kristen.


Tapi sekali lagi sepertinya kita harus menunggu. Karena rasa-rasanya kita tidak mungkin berada di kelompok yang pertama.Kita mengerti betul bahwa tidak ada pemisahan antara kehidupan rohani dan sekuler. Kita mengerti betul bahwa dalam seluruh aspek kehidupan kita, kita harus menjadikan Tuhan sebagai pusat. Lalu setelah kita pikirkan kembali, rasa-rasanya tidak mungkin juga kita berada di kelompok yang kedua. Karena setelah melihat cirri-ciri mereka, kita tahu bahwa kita tidak terlalu mirip juga dengan mereka. Minimal kita tidak mau mengakui jikalau kita mirip dengan mereka. Jika demikian, apakah kita berada di kelompok ketiga yang ideal tersebut? Sayangnya, dengan segala kesombongan kita sekali pun, rasanya kita belum berhak untuk mengklaim keberadaan kita di sana. Ternyata kita hanyalah orang-orang Kristen tanggung yang tidak masuk ke dalam kelompok manapun karena kita terjebak antara keinginan daging dan keinginan roh. Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya semakin lama kita semakin menjauh dari kondisi ideal tetapi kita semakin sulit mengakui kita memiliki kelemahan.


Karena itu pada kesempatan kali ini, marilah kita melihat bagaimana Paulus mengusulkan adanya kelompok keempat orang Kristen. Di Roma 12:1-2 Beliau berkata, “karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” John Ortberg pernah menuliskan tafsiran mengenai hal ini demikian, “kehidupan rohani bukanlah kehidupan yang terpisah dari kehidupan finansial, kehidupan pekerjaan, dll. Istilah kehidupan rohani hanyalah sebuah cara untuk membicarakan kehidupan seseorang setiap saat dan setiap seginya dari perspektif Tuhan. Tuhan tidak tertarik pada bagaimana Anda berdoa, bergereja, atau membaca Alkirab lebih teratur saja. Tuhan tertarik juga pada hidup Anda.”


Paulus mengusulkan kita dengan sadar dan dengan keinginan yang kuat dan dengan kesadaran akan kekuatan dari Tuhan untuk meninggalkan satu per satu keragu-raguan kita dan berjalan menuju ke kerumunan orang yang berada di dalam kelompok ketiga tersebut. Mungkin hari ini kita belum sampai di sana. Tetapi ketika kita berada di dalam perjalanan tersebut, kita memenuhi panggilan Yesus kepada kita untuk menjadi sempurna. Dan di tengah perjalanan tersebutlah kita belajar semakin mencintai Tuhan dan dengan demikian menjauhkan diri kita dari menjadi serupa dengan orang-orang di kelompok pertama dan kedua tadi sambil kita belajar merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita secara benar. Dan dengan demikian kita akan mengerti mengapa Paulus lalu menuliskan, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Soli Deo Gloria, Amin.

Happy (Belated) Easter

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on July 29, 2008 with the title Happy (Belated) Easter.


Banyak orang sering membanding-bandingkan dua hari paling bermakna untuk orang Kristen yaitu Natal dan Jumat Agung dan Paskah. Tetapi biar bagaimanapun kita melihatnya, jika kedua hari tersebut disejajarkan dan dinilai satu per satu aspek yang ada di dalamnya, kita akan merasa bahwa Natal adalah pemenangnya. Ini satu hal yang wajar karena berbeda dengan Natal, Jumat Agung dan Paskah tidak diikuti libur yang panjang sehingga di tengah ritme hidup kita yang tinggi, rangkaian hari Jumat Agung, Sabtu, Minggu Paskah rasanya hanya akhir minggu yang sedikit diperpanjang. Perayaan Paskah pun rasanya sering dipaksakan di tengah-tengah kesibukan yang begitu banyak dan kehidupan yang tetap menunggu kita di Senin setelahnya. Beberapa saudara kita mencoba menambahkan hari-hari seperti Rabu Abu atau Kamis Putih. Sama saja sebenarnya.


Selain itu, berbeda dengan Natal, rasanya orang-orang di sekitar kita rasanya tidak peduli dengan Jumat Agung dan Paskah seperti mereka peduli bahkan menyukai hari Natal. Tidak ada yang memberikan kartu ucapan dan tidak ada promosi-promosi khusus di tempat-tempat kita biasa bergaul dan tidak ada yang merencanakan acara makan malam Paskah atau semacamnya. Orang-orang di luar sana rasanya tidak terlalu peduli dengan Jumat Agung dan Paskah dan ini membuat rasanya kita juga tidak terlalu peduli dengan hal ini.


Yang paling menyebalkan adalah bahwa pada saat Jumat Agung dan Paskah, orang-orang di gereja berusaha membuat kita merasa bersalah dengan terus-menerus mengingatkan bahwa sebenarnya Paskah lebih perlu perhatian kita dan pelayanan kita daripada Natal. Berbagai macam alasan dan ayat dikeluarkan. Tetapi kita tahu dalam hati bahwa nantinya pada tahun ini ketika mereka (dan kita) mempersiapkan Natal, mereka (dan kita) akan melakukannya dengan lebih sungguh-sungguh daripada ketika mereka (dan kita) mempersiapkan acara Paskah tahun depan. Jadi bagaimanapun juga, Natal memang lebih hebat daripada Paskah. Minimal itulah pemikiran kita sebagai manusia yang sangat senang mencari-cari tanda atau mencari-cari rasionalisasi atas segala sesuatu.


Karena itu, memasuki waktu-waktu peringatan Jumat Agung dan Paskah ini, sekedar untuk mengingatkan kita kembali, izinkah Saya untuk mengutip sebagian dari isi surat seorang tokoh yang sudah sangat kita kenal. Tentang Jumat Agung, ia menuliskan demikian, ”Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkah: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.”


Lalu tentang Paskah, ia menuliskan demikian, ”Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.”


Jangan salah tanggap tentang mengapa Saya menuliskan hal ini kembali. Saya yakin kita semua telah mengerti apakah itu Jumat Agung dan Paskah dan apakah kepentingannya. Tetapi kita harus mengakui bahwa kita hidup di Jakarta yang cukup nyaman dan membuat kita lupa tentang dosa dan kehinaan dan penjara dan penghukuman dan lain-lain hal tidak enak yang berhubungan dengan dosa. Yesus datang dan Yesus mati untuk menyelesaikan masalah ini. Kita tidak dapat menutupinya dengan telur Paskah atau kelinci Paskah atau perayaan Paskah dan lain-lain. Kita bahkan menutupinya dengan pra-anggapan bahwa Jumat Agung dan Paskah tidaklah sehebat Natal. Tapi inilah kenyataannya. Paskah bukan hanya berarti kemenangan. Paskah bukan hanya berarti hari depan yang cerah. Paskah bukan hanya berarti musim semi telah datang di dunia yang gelap ini. Bukan hanya itu. Jumat Agung dan Paskah adalah kita manusia berdosa dan diselamatkan dengan harga yang sangat sangat sangat mahal.


Selamat Paskah. Allah mengasihi Anda.


(Artikel ini dimuat juga di BUCKS GKY Pluit edisi Paskah 2008 sebagai editorial)

The Case with Genealogy

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on May 6, 2008 with the title For Selvi: The Case with Genealogy.


Banyak hal yang nampaknya normal di dalam kehidupan ini seringkali menyimpan misteri atau maksud tersendiri. Orang-orang biasanya tidak akan menyadari hal ini, tetapi seringkali, muncul orang-orang berpikiran kritis yang lalu mempertanyakan dan mendapatkan jawaban dan kemudian menjadi selangkah lebih berpengetahuan atau berpengalaman. Sebagai contoh, tidak pernah ada orang yang bingung melihat telinga kelinci karena kelinci memang dikenal sebagai binatang bertelinga panjang. Tetapi kemudian dari ensiklopedia kita menemukan bahwa ternyata kelinci memiliki telinga yang panjang karena alasan-alasan tertentu antara lain untuk dapat mendengar jauh.


Sebagai orang percaya, kita akan mengaminkan hasil ciptaan Tuhan. Tuhan tidak membuat sesuatu yang sia-sia. Termasuk juga di dalam proses inspirasi Firman Tuhan atau Alkitab. Tidak ada bagian yang dicantumkan secara sia-sia dan tidak ada bagian yang tidak terlalu penting sehingga dapat dicabut dari dalamnya. Yohanes dalam Kitab Wahyu memberikan peringatan yang sangat jelas tentang hal ini. Tetapi harus kita akui, ada bagian-bagian dalam Alkitab kita yang seringkali kita lewatkan begitu saja karena nampaknya sangat normal bagian tersebut berada di sana. Bahkan kita cenderung merasa bahwa bagian ini hanya merupakan pelengkap atau pengantar yang kurang penting dari bagian lainnya. Salah satunya adalah bagian silsilah Yesus Kristus.


Silsilah Yesus Kristus dapat kita temukan di Matius 1:1-17 dan Lukas 3:23-38. Terdapat sedikit perbedaan di dalam kedua bagian tersebut dan menimbulkan beberapa tafsiran yang berbeda, tetapi untuk sementara ini kita dapat abaikan hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah, mengapa perlu dicantumkan silsilah Yesus Kristus di dalam Kitab Injil? Dan dengan mengerti alasan mengapa silsilah tersebut dicantumkan, kita akan mengerti apa implikasinya bagi kita di dalam kehidupan kita di zaman modern dua ribu tahun setelah silsilah tersebut dituliskan.


Silsilah Yesus Kristus bukanlah sekedar bagian pembuka dari Injil Matius. Dalam Injil Matius, bagian ini sangat penting karena Injil Matius merupakan Injil yang sangat Yahudi. Ditulis oleh orang Yahudi dan ditujukan mula-mula untuk kalangan orang-orang Yahudi. Hal ini terlihat dari beberapa hal antara lain ketergantungannya pada janji dan nubuatan Perjanjian Lama, penggunaan istilah-istilah khas Yahudi (Israel), dan rujukan ke beberapa tradisi dan kebiasaan orang-orang Yahudi tanpa memberikan keterangan lebih detail tentang hal tersebut. Dengan latar belakang yang sangat Yahudi ini, silsilah Yesus Kristus menjadi sangat penting.


Orang Yahudi sangat memandang penting silsilah keluarga. Mereka menjunjung nama baik keluarga, tanah pusaka keluarga, garis keturunan dalam keluarga, dan lain-lain. Garis keturunan ini begitu pentingnya sehingga orang-orang Yahudi memiliki banyak aturan mengenai hal ini. Sebagai contoh, jika seorang kepala keluarga meninggal tanpa penerus, maka saudaranya harus menikahi isterinya untuk memberikan keturunan bagi saudaranya yang meninggal tersebut. Sesuatu yang mungkin konyol kedengarannya bagi kita pada saat ini. Ketika Matius ingin memberitakan mengenai Yesus, ia harus memulai dari memberikan asal muasal Yesus Kristus terlebih dahulu. Memunculkan tokoh tanpa latar belakang akan berakibat tulisan tersebut ditolak bahkan sebelum dibaca.


Kedua, pada saat Injil Matius dituliskan sekitar beberapa saat sebelum tahun 70 M, kemungkinan besar masih terdapat orang-orang yang terlibat dengan kejadian-kejadian seputar kehidupan Yesus Kristus. Setidaknya, keturunan pertama dari generasi yang sezaman dengan Yesus pasti masih ada. Sehingga dengan adanya silsilah tersebut, orang-orang Yahudi akan dapat berhubungan dengan fakta bahwa Yesus pernah hidup di tengah-tengah mereka, berbicara dan bertindak. Saudara-saudara dan teman-teman Yesus sendiri pun masih menjadi saksi akan kehidupan-Nya. Dicantumkannya silsilah ini menunjukkan keabsahan Injil Matius di kalangan orang Yahudi. Dan dengan ditunjukkannya keabsahan di kalangan orang Yahudi, bisa dipastikan juga keabsahan Injil ini dimana-mana.


Ketiga, salah satu poin yang mungkin paling penting, dalam silsilah ini terlihat suatu penggenapan indah dari nubuatan-nubuatan tentang kedatangan Mesias. Terutama dinubuatkan bahwa Mesias adalah Anak Daud dan berasal dari suku Yehuda. Ini menjawab kerinduan orang Israel secara umum akan datangnya Mesias yang sudah dijanjikan bagi mereka. Mereka terus mengingat bahwa Anak Daud akan datang dan menegakkan kembali tahta Daud dan tahta itu akan kokoh selama-lamanya.


Keempat, pencantuman silsilah Yesus Kristus dalam Injil Matius memunculkan berbagai macam drama tentang kisah di balik kelahiran Yesus berkaitan dengan karya-karya Tuhan yang terjadi sebelum kedatangan Mesias. Kita melihat Abraham dan mengingat cerita mengenai iman seorang yang disebut bapa orang beriman. Kita melihat Ishak dan Yakub dan Peres dan Tamar dan Rahab dan Rut dan Daud dan Batsyeba dan Salomo dan raja-raja Yehuda dan pembuangan ke Babel dan banyak lagi kisah-kisah dimana Tuhan berperan sangat besar. Kehadiran silsilah di awal Injil ini membawa pembacanya mengingat kembali akan besarnya karya Tuhan dan apa yang Dia lakukan dalam mempersiapkan kedatangan Yesus di dunia ini sebagai Mesias.


Sebenarnya masih cukup banyak alasan lain yang bisa kita gali sehubungan dengan dituliskannya silsilah Yesus Kristus di dalam kitab Injil. Kita juga dapat membahas mengenai penulisan Lukas dan pemilihan silsilah yang ia gunakan dan melihat sudut pandang non-Yahudi dalam peristiwa kelahiran. Tetapi untuk sementara ini, marilah kita melihat bahwa bagian ini ada di dalam Alkitab demi suatu maksud yang nyata. Dan itu adalah bahwa kita yang membacanya pada hari ini akan tertegun dan memperoleh suatu pemahaman bahwa karya Tuhan adalah suatu karya yang maha sempurna. Dipersiapkan dengan matang dan dibumbui berbagai macam nubuatan dan peristiwa dan digenapi dengan sempurna pada saat yang paling tepat. Dalam penggenapannya pun kita melihat bahwa secara tradisi dan sejarah pun kita dapat membuktikan hadirnya Anak Allah di dalam dunia ini.


Mengapa kelinci telinganya panjang? Pada akhirnya jawabannya adalah karena ingin menunjukkan kemuliaan Tuhan. Demikian juga dengan ditempatkannya silsilah Yesus Kristus yang bagi sebagian orang membosankan itu. ”Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Amin.

Happy Parent's Day

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on May 5, 2008 with the title Happy Parent's Day.

Pencarian secara singkat pada Alkitab Terjemahan Resmi LAI yang biasa kita gunakan akan menghasilkan 274 kata ’keluarga’, 900 kata ’ayah’ atau ’bapa’, 1377 kata ’ibu’, dan lebih dari 3300 kata ’anak’. Ini belum memperhitungkan kata-kata yang merupakan turunan dari kata-kata tersebut seperti ’bapaku’ atau ’anaknya’ atau yang lainnya. Ini juga belum memperhitungkan kata-kata anggota keluarga yang lain seperti paman, cucu, cicit, suami, istri, nama suku, dan lain-lain. Ketika kita membaca Alkitab, kita akan menemukan begitu banyak pengungkapan hubungan keluarga di dalamnya baik secara harafiah maupun untuk menggambarkan sesuatu seperti hubungan Allah dengan orang percaya.


Secara sempit, kita akan menerima penjelasan bahwa keluarga merupakan suatu yang vital dalam kehidupan orang Yahudi. Orang Yahudi hidup dari zaman ke zaman dengan membawa nama keluarga mereka, baik itu kebanggaan dan nama besar maupun aib. Dalam konteks seperti inilah kita melihat di dalam banyak literatur orang Yahudi (termasuk Alkitab kalau boleh kita anggap sebagai salah satu literatur yang berasal dari mereka) akan banyak sekali penggambaran tentang latar belakang keluarga termasuk suku. Tetapi kalau kita memikirkan alur logis dari kebanyakan peradaban atau kebudayaan yang kita tahu, maka kita akan setuju bahwa tidak ada suku atau peradaban atau kebudayaan atau bangsa yang tidak memandang keluarga sebagai suatu yang vital.


Memang harus kita akui bahwa saat ini keluarga sudah mengalami pergeseran arti yang cukup parah. Ketika kita menanyakan tentang arti keluarga, maka kita akan menerima jawaban resmi berupa satuan unit ekonomi yang terkecil. Di dunia yang materialistis dan individualis ini, keluarga diciutkan maknanya dan hanya diambil makna ekonomisnya saja. Itu sebabnya sebagai remaja, baik sadar ataupun tidak, kita menganggap rumah sebagai mesin ATM dan hotel gratis dan lebih suka berada di luar rumah bermain bersama teman dan beraktivitas. Hubungan dengan orang tua juga tidak menjadi penting. Selama kita tidak memiliki masalah apa pun dengan mereka, maka kita berada dalam keluarga yang harmonis. Komunikasi yang kurang, keintiman yang berkurang, bahkan perjumpaan yang kurang seakan-akan tidak menjadi masalah sama sekali. Yang penting dalam keluarga jangan ada perselisihan dan pertikaian.


Tetapi yang menjadi pertanyaan untuk kita orang percaya, apakah itu cukup untuk menjadi satu keluarga yang diakui oleh Tuhan? Hari ini tidak semua dari kita adalah orang tua. Tetapi entah apakah kita adalah orang tua atau bukan, kita tidak mungkin ada di dunia ini kalau bukan sebagai anak. Dan sebagai anak, kita diberikan panduan-panduan khusus oleh Tuhan untuk kita taati seperti apapun orang tua kita. Ketika kita berbicara sebagai seorang anak tentang orang tua, maka mau tidak mau kita akan mengingat hukum ke-5 dari Hukum Taurat yaitu, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu.” Hukum ini menjadi menarik karena banyak alasan. Mari kita lihat tiga diantaranya sebagai satu awal kita mengingat bahwa jangan-jangan hari ini kita tidak berada di jalur keluarga yang diperkenan Tuhan sebagai seorang anak.


Yang pertama bisa karena dari kesepuluh hukum yang ada, hukum ini termasuk satu dari dua yang tidak dimulai dengan kata ’jangan’ dan menunjukkan bahwa Tuhan menghendaki suatu partisipasi aktif dari penerima hukum ini. Paulus kelak mengingatkan kita bahwa kita menghormati orang tua kita karena haruslah demikian. Bukan karena kita menerima sesuatu atau karena mereka baik. Terutama bukan karena kita mengharapkan sesuatu. Tetapi kita menghormati karena haruslah demikian. Karena Tuhan menghendaki demikian.


Yang kedua adalah ini merupakan satu-satunya hukum yang disertai langsung dengan janji dari Tuhan. Hampir di setiap kutipan hukum ini di dalam Alkitab, frasa ”hormatilah ayahmu dan ibumu” disambung dengan kata ’supaya’ dan disertai janji umur panjang oleh Tuhan. Di bagian lain yaitu di dalam Injil Matius, Yesus mengutip ayat ini dan menyambungkan dengan suatu hukuman mati bagi yang gagal melaksanakan hukum ini. Ini adalah hukum yang penting terlihat dari penggambaran hidup mati kita pun turut dipengaruhi oleh hukum ini.


Yang ketiga, ini merupakan hukum yang seolah menjembatani hukum tentang Allah (1-4) dan hukum mengenai sesama manusia (6-10) seolah-olah mengingatkan lagi bahwa orang tua ada di dalam dunia ini sebagai wakil dari Tuhan sendiri untuk mendidik anak-anak yang lahir. Tuhan juga sebenarnya berkali-kali memberikan instruksi kepada orang tua dalam mendidik anak-anak mereka dan di dalamnya kita menemukan bahwa Tuhan mempercayakan masa depan dunia ini di dalam tangan orang tua-orang tua yang ada di dalam dunia ini.


Di luar segala keistimewaan ini, kita melihat bahwa hukum ini merupakan hukum yang serius yang kelak akan dikutip berkali-kali oleh banyak orang. Hubungan keluarga, terutama hubungan orang tua dengan anak merupakan dasar dari gereja Tuhan Ini juga sebabnya kita menemukan penggambaran hubungan orang tua-anak ini dalam hubungan kita sendiri dengan Tuhan. Yesus sendiri beberapa kali melukiskan hal ini secara sangat gamblang. Sehingga pada saat ini sudah tidak pada tempatnya lagi bagi kita untuk bermain-main dengan posisi kita di dalam keluarga terutama sebagai seorang anak dari orang tua kita. Pada akhirnya, kita tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan orang tua kita sebelum kita lahir. Mereka juga tidak akan tahu apa yang terjadi dalam kehidupan kita setelah mereka pergi. Waktu kita berhubungan dengan orang tua kita hanya pada saat ini dan kita tidak terlalu bodoh untuk tahu apa artinya hal ini. ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu.” Happy Parents’ Day.

Pernahkah Anda Berpikir Demikian?

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on March 8, 2008 with the title For Dennis: Pernahkah Anda Berpikir Demikian?

Dalam perjalanan hidup kita sebagai orang percaya, seringkali kita mendapati diri kita dibuat takjub dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan tentang iman kita yang muncul dari orang-orang di sekeliling kita. Takjub karena dalam keseharian kita dengan Tuhan, ini adalah tipe pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak akan kita tanyakan sendiri. Tulisan berikut ini dimaksudkan untuk menggambarkan dalam terang Firman Tuhan tentang apa yang menjadi landasan jawaban untuk satu pergumulan yang sangat menarik.

Pernahkah kita bertanya-tanya apa yang akan terjadi seandainya akhir dari kisah-kisah yang kita temui di Alkitab berbeda? Maksudnya begini, ketika kita melihat perjalanan iman seorang tokoh Alkitab, maka kita akan menemui Abraham akhirnya mendapatkan anak, Yusuf akhirnya menjadi raja muda di Mesir, Ayub akhirnya mendapatkan kembali apa yang diambil darinya, para hakim akhirnya menang atas musuh, Daniel dan kawan-kawan dibebaskan dari mulut singa dan api yang menyala-nyala, Simeon akhirnya melihat Tuhan, dan seterusnya. Apa yang terjadi SEANDAINYA akhir dari semua cerita tersebut berubah? Apa jadinya jika Abraham tidak mendapatkan anak dan Yusuf tidak pernah dijual ke Mesir? Apakah akan ada kitab Ayub jika seandainya dia mati dengan tangan kosong? Atau apakah kegagalan-kegagalan dengan mudah dicabut saja dari Alkitab pada saat Alkitab disusun sehingga hari ini kita tidak perlu membaca kisah-kisah gagal tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat menarik untuk dipikirkan. Tetapi sebelum lebih jauh kita melangkah, kita perlu mengerti bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak valid karena alasan berikut ini: Kita tidak mungkin menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut karena hal tersebut sudah terjadi. Berpikir seperti apa pun, apa yang sudah terjadi tidak mungkin diubah. Kita harus mengerti bahwa dengan mempertanyakan suatu kenyataan, kita melatih diri untuk menjadi lebih sensitif terhadap banyak kenyataan di depan kita dan bukan mengharapkan terdapatnya suatu kesalahan di dalamnya.

Pemikiran kita dalam menjawab hal ini perlu kita mulai dari bertanya, apakah ada kisah kegagalan dalam Alkitab. Jika ada maka kita perlu mengetahui kisah siapa dan jika tidak ada kita perlu mengetahui alasannya. Sebelum kita mencari tahu jawabannya, mari kita mulai dari satu asumsi, entah benar atau tidak, bahwa di dalam Alkitab, semua kisah yang tercatat adalah kisah yang sukses pada akhirnya. Pemikiran ini berdampak apapun yang dihadapi oleh seorang pengikut Tuhan baik atau buruk hal yang dia alami, maka Tuhan akan beserta dengan dia dan pada akhirnya dia akan mendapatkan satu penghargaan atas imannya. Jika demikian, apa yang mendasari hal ini? Kita dapat menemukan banyak ayat yang mendukung hal ini. Yaitu bahwa Tuhan memberikan janji penyertaan-Nya kepada semua anak-anak-Nya. Di Perjanjian Lama misalnya kita dapat menemukan Kejadian 50:20 hingga di Perjanjian Baru kita menemukan Roma 8:28. Masih terdapat ratusan bahkan ribuan janji Tuhan yang bisa kita temukan di dalam Alkitab, tapi marilah kita mengerti satu hal ini bahwa Tuhan menjanjikan suatu kehidupan yang lebih dari seorang pemenang (Roma 8:37) dan berkelimpahan (Yohanes 10:10b) dan berkecukupan (Filipi 4:19) dan penuh kuasa (Filipi 4:13) dan penuh penyertaan (Markus 16:17-18) dan lain-lain dimana memerlukan satu telaah yang menyeluruh terhadap Alkitab untuk menemukan semuanya. Dan Tuhan adalah Allah yang setia (Ulangan 7:9) yang akan menepati semua janji-Nya. Dan karenanya adalah satu hal yang sangat wajar jika lalu kita menemukan semua kisah perjuangan iman seorang Kristen berakhir dengan suatu kesuksesan.

Tapi kesuksesan yang bagaimana yang sekarang perlu kita kejar? Mari kita lihat bahwa ternyata di dalam Alkitab terdapat kisah-kisah penuh kegagalan. Walaupun tadi kita memulai dengan asumsi kisah yang ada di Alkitab adalah kisah sukses semata, tapi ternyata di dalam Alkitab terdapat kisah-kisah yang mungkin menurut kita adalah suatu kegagalan. Kita tidak akan lupa akhir hidup dari Salomo, raja terakhir dari Israel yang pertama. Tuhan berfirman kepada Salomo suatu janji penyertaan pada 1 Raja-Raja 9:3-9. Tetapi pada akhirnya Salomo gagal dan dicatatlah kegagalan besar ini dalam 1 Raja-Raja 11:6. Sangat menyedihkan melihat kehidupan penuh penyertaan dan berkat berakhir dengan kutukan yang mengoyakkan kerajaan Israel. Kita juga tidak lupa kepada Yunus yang sampai pada akhir kisahnya dalam kitab Yunus tidak mengerti rencana dan kehendak Allah. Dan ingat kepada Ham yang membantu ayahnya membuat bahtera dan akhirnya selamat dari air bah. Tetapi berakhir dikutuk oleh ayahnya sendiri dan menjadi bapa dari bangsa yang ”hina” sepanjang sejarah Israel. Dalam perjanjian baru, kita tahu Stefanus yang akhirnya mati martir, Yohanes Pembaptis yang dibunuh, hingga Para Rasul yang dipercaya banyak juga yang mati martir dalam perjalanan iman mereka. Apakah ini suatu pertanda tidak adanya penyertaan Tuhan dalam kehidupan mereka?

Kita akan lalu berargumen bahwa apa yang dikategorikan sukses oleh manusia dan sukses oleh Allah itu adalah dua hal yang berbeda. Dan di sinilah justru sebenarnya kunci dari jawaban pertanyaan kita di atas. Kita ingin apa yang Tuhan rencanakan di dalam kita berhasil (Efesus 2:10) dan hal ini terlepas dari apakah pada akhirnya kita menjadi raja muda di Mesir atau mati di penjara bawah tanah. Keduanya memiliki kebanggaan tersendiri. Inilah yang dikatakan Paulus sebagai kemuliaan yang berbeda antara matahari, bulan, dan bintang-bintang (1 Korintus 15:41).

Marilah kita melihat kehidupan seorang imam yang biasanya jauh dari lampu sorot kecuali sebagai pembuka dari kisah Samuel. Imam Eli menjabat imam di Silo dan kebetulan berada di sana ketika Hana berikrar menyerahkan Samuel kepada pekerjaan di tempat persinggahan Tabut Perjanjian tersebut. Imam Eli menjadi imam selama 40 tahun dan mati di kursi setelah mendengar kabar bahwa anak-anaknya (yang jahat) telah mati. Inilah kehidupan seorang imam yang gagal. Tapi diantara semua orang Kristen yang tumbuh sejak dari SekolahMinggu, mereka tidak tahu hal tersebut sama sekali. Apa yang mereka tahu adalah bahwa imam tua ini menerima Hana dan memberkatinya. Lalu mereka ingat bahwa kelak beberapa tahun kemudian dia memberi bimbingan rohani kepada Samuel kecil tentang bagaimana dia harus peka terhadap suara Tuhan. Dan kelak inilah peristiwa yang mengubah wajah Israel di masa depan. Iman seorang Imam Eli yang sangat jarang kita dengar dapat kita lihat dalam 1 Samuel 3:18. Dalam 3-4 pasal awal kitab 1 Samuel kita melihat kemenangan dan kekalahan seorang imam tua. Tapi kita mengerti bahwa di luar segala kegagalannya dia telah menghasilkan seorang Samuel yang membawa Israel memasuki era baru mereka. Marilah kita mengerti bahwa Allah bekerja dengan gambar rancangan yang sempurna. Yang mungkin tidak dapat dilihat oleh Eli ketika dia menyaksikan anak-anaknya yang jahat atau Abraham ketika berumur 99 atau Yusuf ketika dijual ke Mesir atau Yunus ketika terpaksa memberitakan Firman Tuhan. Tetapi Tuhan tidak kurang panjang tangannya untuk umat-Nya dan itulah yang perlu kita percayai di luar segala pertanyaan kita. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego memberikan teladan kepada kita tentang hal ini. Sebelum mereka dibebaskan dari api perapian yang menyala-nyala, bahkan sebelum mereka dimasukkan ke dalam api tersebut, mereka sudah mengatakannya dengan jelas, ”Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja (Nebukadnezar); tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”

Tuhan menyertai.

Happy New Year (OR NOT)

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on January 7, 2008 with the title Happy New Year (OR NOT).


Tahun 2008 adalah tahun yang baru. Menjelang pergantian tahun, kita menghitung mundur menuju tahun baru. 6, 5, 4, 3, 2, 1, dan tahu-tahu kita sudah berada di tahun yang baru. Tahun baru yang diharapkan menjadi tahun yang lebih baik. Kita memperlengkapi diri dengan semangat baru, resolusi baru, rencana baru, baju baru, sepatu baru, dan semua yang baru-baru. Dengan optimisme tinggi kita melangkah menuju ke hari depan yang baru. Tahun 2008. Inilah tahun yang baru untuk kita. Inilah saatnya kita unjuk gigi. Inilah tahun kita.


Stop di sana. Benarkah demikian? Hal ini pasti ada dalam benak sebagian besar dari kita. Tahun baru terasa sebagai momentum yang menggelegar bagi kita. Tapi sekali lagi, benarkah demikian? 1 Januari 2008 pukul 00:00 hanyalah 31 Desember 2007 23:59 ditambah 1 menit. Lebih spesifik lagi kita dapat mengatakan itu hanyalah tahun yang lama ditambah 1 detik. Apa yang baru kalau demikian? Pengkotbah, Sang Raja Yerusalem, menuliskan dengan getir bahwa tidak ada sesuatupun yang baru di bawah matahari. Matahari terbit dan terbenam dan akan terulang lagi terus-menerus melewati minggu, bulan, tahun, abad, dan tetap akan demikian. Tidak ada yang baru sama sekali.


Apa yang berubah di tahun yang baru? Kita berharap banyak hal berubah ke arah yang lebih baik. Tapi sayang sekali keinginan kita mungkin tidak akan terwujud sama sekali. Matius 24 mengutip nubuatan Yesus bahwa semakin menjelang akhir zaman, Bumi akan menjadi tempat yang semakin tidak aman dan nyaman untuk ditinggali. Global Warning yang kita dengar belakangan ini, ternyata sudah disuarakan Yesus jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan bukan hanya Bumi saja, tetapi manusia pun semakin terjerumus ke dalam rupa-rupa kesukaran dan dosa. Hal ini dapat kita temukan dalam surat Paulus kepada Timotius.


Jadi, seburuk itukah tahun 2008 ini bagi kita? Salahkah kita ketika memperingati pergantian tahun dengan euforia setinggi-tingginya seperti yang kita lakukan? Tentunya tidak sama sekali. Perhatikanlah beberapa paragraf berikut ini dengan seksama.


Orang Yunani memiliki cara yang unik memandang waktu. Mereka memandang waktu menurut dua definisi dan filsafat. Yang pertama adalah waktu sebagai kronos. Filsafat di balik ini mirip dengan apa yang dilukiskan Pengkotbah yaitu bahwa hari ini berlalu dan besok datang dan besok menjadi hari ini dan hari ini akan berlalu dan besok datang dan besok menjadi hari ini dan seterusnya. Menjalani hidup kita dari hari ke hari dengan mengetahui bahwa hari ini akan menjadi kemarin dan besok akan menjadi hari ini dan hidup kita akan sama-sama saja. Inilah Sang Waktu sebagai kronos. Dengan berpikir seperti demikian, maka 1 menit perbedaan tahun 2007 dan 2008 adalah sama saja dengan 1 menit perbedaan 1 menit yang lalu dan sekarang dan sama saja dengan setiap menit yang ada dalam hidup kita.


Tetapi cara pandang yang kedua dikenal dengan sebutan kairos. Filsafat di balik definisi ini sangat menarik karena seolah-olah kronos ditarik keluar setiap elemennya dan dijadikan satu elemen yang berdiri sendiri dan dipajang agar kita dapat melihatnya satu per satu. Kairos adalah filsafat bahwa waktu tidak akan terulang. Kairos berarti waktu adalah kesempatan. 1 menit pergantian tahun dan 1 menit setelahnya adalah menit-menit yang sangat berbeda. Ini lalu membawa kita ke dalam satu pengertian bahwa setiap waktu yang ada sangat mahal harganya dan harus dipandang sebagai satu kesempatan. Inilah cara pandang Paulus ketika ia menuliskan perhatikanlah dengan seksama bagaimana kamu hidup dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Paulus mengerti bahwa 1 menit yang tidak dipergunakan untuk hidup bagi Tuhan adalah 1 menit yang sia-sia. Inilah sebabnya kita memandang setiap awal tahun dan saat-saat tertentu dalam 1 tahun sebagai momentum untuk lebih menggairahkan hidup kita. Inilah sebabnya kita melakukan retrospeksi dan membuat resolusi. Karena hari-hari ini adalah jahat dan Tuhan menghendaki kita mempergunakan kairos yang ada dengan sebaik-baiknya.


Ada baiknya bagi kita untuk belajar mempergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya dengan belajar kepada seorang bijaksana yang pernah hidup selama 120 tahun. Selama hidupnya ia pernah tinggal di berbagai tempat, memiliki beberapa kewarganegaraan, dihormati, memiliki segalanya. Pernah juga ia diusir dari tempat tinggalnya, hampir dibunuh bahkan sejak bayi, menggembalakan domba dan menggembalakan orang-orang yang sering menolaknya, dan banyak lagi pengalaman yang ia miliki sebagai pejabat, imam, gembala, panglima perang, nabi, pelarian, dan lain-lain. Musa, ratusan tahun sebelum Pengkotbah hidup, mengajarkan kepada kita bahwa Tuhanlah yang dapat mengajarkan kepada kita bagaimana menghitung hari-hari sedemikian sehingga kita memperoleh hati yang bijaksana.


Mengapa penting sekali bagi kita untuk menghitung hari-hari kita? Pengkotbah yang semula mengeluhkan tentang kronos yang monoton akhirnya pun mengajarkan kepada kita bahwa dalam kita menjalani hidup kita, tidak mungkin kita dapat menyelami pekerjaan Tuhan seluruhnya. Karena itu, hitunglah hari-hari kita, berharap kepada Tuhan dan kasih-Nya yang besar dan percayalah, seperti dipercaya juga oleh Sang Pengkotbah, bahwa Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya bahkan Ia memberikan kekekalan di dalam hati kita. Amin. Selamat tahun baru 2008.

Semoga Alkitab (Jangan) Salah

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on December 29, 2007 with the title Semoga Alkitab (Jangan) Salah.

Ketika kita berbicara mengenai keabsahan Alkitab seperti sering kali kita lakukan, maka ada baiknya terlebih dahulu kita mengakui dengan jujur satu hal: Kita lebih senang kalau ternyata Alkitab itu salah. Kaget? Tidak mau mengakui? Perlu bukti? Boleh.

Pertama, kita lebih senang jikalau Alkitab itu ternyata tidak sinkron. Kita senang memperdebatkan mengapa Paulus mengatakan keselamatan hanya karena iman sedangkan Yakobus mati-matian mengatakan iman tanpa perbuatan adalah mati. Dan bukan hanya kita, Martin Luther sendiri ternyata pernah mempertanyakan hal yang sama. Kita penasaran mengapa penulis Injil tidak sepaham tentang apakah Yesus masuk atau keluar dari sebuah kota. Kita merasa sangat seru karena ternyata dalam dua kitab yang berbeda terdapat ketidaksepahaman tentang apakah Daud menghitung laskar Israel atas suruhan Tuhan atau Iblis. Kita merasa Alkitab ternyata lebih seru jikalau tidak sinkron.

Perlu bukti yang lain? Ternyata kita juga lebih senang jikalau Alkitab ternyata bukanlah seperti yang kita kenal saat ini: gabungan dari kitab sejarah, puisi, surat, dan entah materi membosankan apa lagi yang memusingkan mata kita ketika kita membukanya. Kita lebih senang jika Alkitab ternyata adalah sebuah game / puzzle / misteri. Tidak ada seorang pun yang tidak buta huruf yang tidak mengenal buku The Bible Code. Buku bestseller di pergantian milenium yang menyita perhatian seluruh dunia. Ternyata Alkitab dalam bahasa aslinya adalah sebuah kumpulan sandi yang berisi nubuatan tentang sejarah dunia. Terbukti dengan berhasil dibongkarnya kode penbunuhan PM Israel dan sederet peristiwa besar dalam sejarah lainnya. Dan bayangkan! Itu semua ditulis ribuan tahun yang lalu. Menakjubkan. Masih ada lagi! Ternyata akhir zaman juga dapat diramalkan asalkan kita dapat membongkar kode dalam Alkitab tersebut. Sangat menegangkan bukan? Rasanya ingin segera membeli Alkitab versi bahasa asli tersebut dan mulai membacanya.

Mungkin sebagian dari kita belum cukup kritis atau dewasa ketika The Bible Code mengguncang dunia dan kita melewatkan kesenangan tersebut. Jangan khawatir. Asalkan kita mau percaya bahwa Alkitab ternyata adalah suatu hasil rekayasa, kita juga bisa bergabung dalam kelompok di atas. The DaVinci Code menawarkan teori konspirasi Alkitab. Ternyata Alkitab adalah hasil rekayasa dari Gereja Roma Katolik semata. Apa yang sesungguhnya terjadi tercatat dalam bahan-bahan lain yang disembunyikan hingga sekarang. Dijaga oleh ksatria-ksatria dan ilmuwan-ilmuwan pengikut Jalan Kristus. Betapa senang kita dengan teori ini sehingga sebagian besar dari kita sudah habis membaca bukunya dan menonton filmnya dan mengikuti diskusinya di berbagai media sampai-sampai kita lupa bahwa ternyata kita belum habis membaca Alkitab kita. Ah, tidak masalah. Toh ada kemungkinan buku itu cuma hasil rekayasa kok.

Sebelum terlupakan, kita juga lebih senang kalau Alkitab ternyata tidak lengkap. Itu sebabnya kita merasa ‘iri’ kepada teman kita yang Katolik karena Alkitab miliknya lebih tebal. Kita penasaran dan ingin mengintip apa isi buklet yang ada di tengah itu. Teman-teman kita yang lain (yang sering kita kenal dengan sebutan bidat) dengan mudah menambahkan kitab-kitab lain sebagai pendamping Alkitab. Dan sebaliknya, terkadang kita juga lebih senang kalau Alkitab dapat kita korting. Cukuplah kita dengan perjanjian baru saja. Toh perjanjian lama sudah kadaluwarsa. Buat apa lagi kita pelajari? Paling banyak kita sisakan saja Kitab Mazmur dan Amsal. Sisanya tidak perlu lagi.

Kita lebih senang kalau ternyata Alkitab itu salah. Itulah sebabnya Injil Yudas Iskariot, Injil Barnabas, Injil Maria, Injil Tomas, dan mungkin juga (kalau ada) Injil Agus menjadi bestseller begitu mereka diterbitkan dan diterjemahkan. Alkitab boleh jadi buku terlaris sepanjang masa. Tapi yang pasti bukan pada masa ini. Karena itu, mari kita akui saja: Kita lebih senang kalau ternyata Alkitab itu salah. Dan jangan-jangan kita ternyata mengharapkan bahwa Alkitab itu salah? Jika demikian, ini menjelaskan mengapa kita sangat malas membuka Alkitab kita. Bisa jadi Alkitab itu salah. Wah. Wah. Wah.

(Artikel ini dimuat juga di BUCKS GKY Pluit edisi Juni 2007 sebagai Editorial)

Thanksgiving Spirit

This entry was published at http://chiawono.blog.friendster.com/ on November 20, 2007 with the title November Thought: Thanksgiving Spirit.

Mengucap syukur dalam segala hal adalah Firman Tuhan yang tidak bisa kita sangkal dan harus kita lakukan (I Tesalonika 5:18). Semua orang Kristen tahu hal ini dan kita pun juga pasti tahu hal ini. Karena itu ketika kita bangun pada pagi hari kita mengucap syukur. Demikian juga ketika kita hendak tidur pada malam hari. Selain itu, kita mengucap syukur ketika kita akan makan atau berangkat sekolah atau sembuh dari sakit atau naik kelas dan lain-lain.

Setelah agak lama kita mengenal Tuhan dan Firman-Nya, kita dibuat mengerti bahwa mengucap syukur dalam segala hal berarti dalam hal besar maupun hal kecil. Kita diselamatkan karena Karya Salib dari Allah Tritunggal dan kita mengucap syukur. Untuk orang tua, teman-teman, gereja, sekolah, negara, bangsa kita mengucap syukur. Kita mendapatkan pacar dan kita memenangkan lomba kita mengucap syukur. Demikian juga kita sekarang mengucap syukur atas hal-hal kecil yang kita alami mulai dari nafas hidup yang selalu Tuhan berikan kepada kita sampai saat ini dan matahari yang selalu bersinar di pagi hari dan bekal makan siang maupun hal-hal lain yang sepertinya dianggap oleh orang lain sepele.

Kita juga mengerti bahwa mengucap syukur dalam segala hal berarti mengucap syukur dalam senang maupun susah. Kita mengucap syukur ketika segala sesuatunya lancar dalam kehidupan kita karena kita mengerti bahwa semua itu dapat terjadi karena kebaikan Tuhan dalam kehidupan kita. Kita mengucap syukur juga ketika kita mendapat halangan dan rintangan dalam hidup karena kita mengerti bahwa hal-hal tersebut diizinkan Tuhan terjadi dalam kehidupan kita dengan suatu alasan yang mungkin tidak dapat kita mengerti saat ini.

Tapi satu hal yang perlu kita pikirkan bersama adalah apakah kita sudah mengucap syukur dengan benar selama ini? Apakah mengucap syukur sama dengan sekedar mengatakan terima kasih atas apa yang kita terima? Apakah kita sudah melakukan mengucap syukur dalam segala hal ketika kita berdoa dan mengatakan terima kasih Tuhan untuk ini dan itu yang baik maupun buruk?

Marilah kita mengerti terlebih dahulu suatu hal. Yaitu bahwa yang dari tadi kita bicarakan tidaklah salah. Bahkan hal-hal yang kita bicarakan sedari tadi merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan dan merupakan suatu pencapaian yang cukup signifikan dalam hubungan kita dengan Tuhan jikalau kita dapat melaksanakannya. Tetapi sebagai orang Kristen yang sejati, kita perlu menuntut diri untuk mengerti lebih jauh mengenai suatu kebenaran dan aplikasinya dalam kehidupan kita. Jadi, apakah yang dapat kita tambahkan kepada pengetahuan kita tentang mengucap syukur? Mari kita untuk saat ini melihat kepada dua hal berikut ini.

Pertama. Selama ini, dalam melakukan thanksgiving atau pengucapan syukur, kita memiliki konsep melakukannya karena telah menerima sesuatu atau melihat sesuatu atau menyadari sesuatu. Ini membuat kita menganggap mengucap syukur sebagai suatu reaksi atas sesuatu aksi yang terlebih dahulu terjadi. Konsep ini begitu mendarah daging di dalam kehidupan kita sehingga kita seringkali kerepotan ketika kita ingin melalukan prinsip mengucap syukur dalam segala hal. Kita mengucap syukur untuk rutinitas dan keseharian kita, tetapi kemungkinan besar kita akan sulit mengucap syukur untuk seragam sekolah atau baju kuliah kita karena jarang sekali kita menyadari keberadaan mereka. Demikian juga ketika kita melihat televisi dan melihat berita bencana alam kita akan sulit sekali memaksa diri mengucapkan terima kasih untuk bencana tersebut. Mungkin kita akan mendoakan para korban dan proses penanggulangan bencana tersebut, tetapi hampir mustahil kita mengucap syukur atas bencana tersebut. Sama seperti ada ribuan hal lain setiap hari yang kita lewatkan karena tidak terpikirkan dalam pikiran kita untuk mengucap syukur.

Beranjak dari titik ini, kita harus mengerti bahwa mengucap syukur dalam segala hal (in all circumstances) sedikit berbeda dengan mengucap syukur atas segala hal. Jika kita melakukan pencarian kilat di Alkitab, maka kita akan menemukan bahwa sebenarnya sebagian besar pengucapan syukur diberikan atas hal-hal yang baik yang terjadi. Perjanjian Lama mencatat seruan ucapan syukur adalah karena kebaikan Allah dan kasih setia Tuhan yang untuk selama-lamanya. Bukan untuk kemalangan. Perjanjian Baru mencatat ucapan-ucapan syukur dengan maksud yang sama. Satu hal yang cukup mengejutkan karena banyak orang Kristen selama ini berpikir bahwa kita mengucap syukur atas segala hal. Tetapi jika kita perhatikan lebih jauh, maka kita akan melihat bahwa dalam kondisi-kondisi yang buruk, Alkitab mencatat pula, ucapan syukur dan pujian tetap dapat dinaikkan. Ayub, misalnya, mengakui bahwa kehilangan-kehilangan yang dia alami merupakan suatu hal yang buruk. Tetapi dia tetap memuji Allah. Bukan karena Allah berbuat jahat padanya, tetapi semata-mata karena Allah patut dipuji (Ayub 1).

Dalam segala hal mengindikasikan bahwa ucapan syukur bukanlah one word for one cause yang artinya kita mengucapkan satu kata (syukur) untuk setiap satu per satu kejadian yang kita alami. Dalam segala hal atau in all circumstances mengindikasikan one cause for one word atau hanya ada satu alasan bagi kita untuk bersyukur. Mengucap syukur bukanlah reaksi semata tetapi merupakan suatu gaya hidup yang didasarkan pada suatu pemahaman bahwasanya Tuhan baik dan untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Sehingga apapun yang terjadi tidak akan membuat kita lebih sulit atau lebih mudah mengucap syukur karena mengucap syukur berbicara mengenai Allah yang patut menerimanya dan bukan karena kejadian yang pantas atau tidak pantas untuk disyukuri.

Kedua. Dalam bahasa Indonesia, kata mengucap syukur terkesan memiliki arti yang ringan. Kita lupa bahwa dalam begitu banyak versi Alkitab bahasa Inggris, frasa tersebut diterjemahkan menjadi thanksgiving atau give thanks dan bukan sekedar say thanks saja. Demikian pula dalam bahasa asli Alkitab dipergunakan beberapa istilah yang memiliki bobot makna lebih dari sekedar mengucapkan terima kasih semata. Ini merupakan suatu hal yang serius karena mengucap syukur dalam konteks memberi syukur (give thanks) ternyata membawa suatu bobot pengorbanan. Di Perjanjian Lama, dapat kita jumpai bahwa seringkali ucapan syukur disertai dengan suatu korban ucapan syukur. Inilah yang disebut dengan thanksgiving sacrifice. Sesuatu yang seharusnya juga menjadi motto kita dalam kehidupan kita hari ini. Hal ini pulalah yang perlu kita kerjakan seiring bertambahnya usia dan kedewasaan rohani kita.

Mengucap syukur bagi seorang dewasa rohani membawa suatu tuntutan pengorbanan di dalamnya. Kebaikan Tuhan yang kita terima di dalam kebhidupan kita merupakan suatu modal awal bagi kita untuk kita bekerja bagi Tuhan terhadap sesama kita. Dengan mengerti hal ini, kita akan menggeser orientasi ucapan syukur kita dari sesuatu yang egois (karena hanya kita yang merasakannya) menjadi sesuatu yang lebih mementingkan Tuhan, pekerjaan-Nya, dan orang-orang yang dikasihi-Nya. Itulah artinya kita memberikan syukur kita dan bukan sekedar mengucapkannya. Dan dengan mengerti hal ini, tidak bisa lagi kita mengatakan kepada Tuhan terima kasih lalu melarikan diri. Di masa Perjanjian Lama, kita dapat membawa korban syukuran dan mempersembahkannya di mezbah. Pada hari ini, kita harus membawa diri kita sendiri dan mempersembahkannya di hadapan Tuhan. Seharusnya, sudah lewat masa bagi kita untuk mengatakan, ”Tuhan, terima kasih untuk kebaikan-Mu yang telah aku terima” saja. Tetapi sudah saatnya bagi kita untuk melanjutkan doa ucapan syukur kita itu dengan satu pertanyaan, ”kini apa yang Kau mau aku perbuat dengan kebaikan-Mu tersebut, Tuhan?”

Kamis, 26 Maret 2009

Lyrics for Great Is Thy Faithfulness (Besar Setia-Mu / KPK 66)

Great Is Thy Faithfulness (Besar Setia-Mu / KPK 66)

Verse 1

Great is Thy faithfulness, O God my Father;

There is no shadow of turning with Thee;

Thou changest not, Thy compassions, they fail not;

As Thou hast been, Thou forever will be.

Verse 2

Summer and winter and springtime and harvest,

Sun, moon and stars in their courses above

Join with all nature in manifold witness

To Thy great faithfulness, mercy and love.

Refrain

Great is Thy faithfulness! Great is Thy faithfulness!

Morning by morning new mercies I see.

All I have needed Thy hand hath provided;

Great is Thy faithfulness, Lord, unto me!

---