Rabu, 08 Agustus 2012

Jumat, 11 November 2011

11.11.11: History Begins Every Morning

It'd be plainly wrong to ignore this date and post nothing. But since I haven't had the time to think of any topic, I'd just write whatever thought that crossed my mind today.

My Table Calendar
I got the table calendar above from Tag Heuer. No, I didn't own their products (yet!), I just happened to be at the right place at the right time with the right person (who provided the right answer for the quiz). Engraved on the top of it was "History Begins Every Morning" (no, you couldn't see it in the picture).

As I set the calendar to today's date, my eyes accidentally fell upon the sentence. And as I took my 15 minutes walk to get my morning coffee, I thought of what history would begin today, and how special this date was (and betting against myself that there would be tons of people planning their marriages, parties, house warmings, business setups, etc today), and how it wouldn't repeat itself in another 100 years (which I doubt I would ever experience), and it was then that I realized something.

I woke up. Figuratively. Not today, but some time not so long ago.

Come to think of it, I had been living a blessed life all my life. And at some time of it, I became ungrateful. There were times I took things for granted. I had placed myself in prideful roles among members of my family, among friends, among colleagues and church workers, within relationships, and even to God. I totally forgot that I was too a mortal and a sinner bound to die one day.

But God did send me a wake up call. A rough one at that. The one that reminded me of how Samson had been betrayed by Delilah, had his eyed gouged out by the Philistines, and had been ultimately humiliated in front of his most hated enemies (Judges 16). He chose to live in pride and sin and he got served. He had had his chance, his time, and he ruined it with his own hands (and mouth, actually).

But God is kind. Too kind in this too short kind of life. In the end, Samson fulfilled his lifelong purpose and killed more God's enemies than he had ever killed before. And today we read about him and his heroic tales to our children. Today we admired him as one of the most influential judges the Israel ever had. We were familiar with his name even more than Ehud or Othniel or even the Deborah - Barak duo. Today, as we can see in Judges 16:30, we believed that Samson lived and died without any regrets left. Today, we praised God because of Samson. 

Today, I hoped for the second chance to fulfill my purpose in life just like the one Samson had been given.

So today, I'm fully awake. Much more grateful of my days than I've ever been in my whole life. I smiled more. I sang more. I danced more. I enjoyed life more. And I worked on my weaknesses more (so help me, God). Hopefully I would also write more as I had promised.

As we came to a close, how are you living your life today? In all honesty, would you need a wake up call? If you do, have you had yours? Let's wake up every morning and write our history. The one that blesses people and praises God like the one Samson wrote in his last day. And every time you and I start to stray away from what we should be, let's remember 11.11.11 and be reminded.

The Coffee I Got This Morning



Senin, 31 Oktober 2011

Sekapur Sirih Hari Reformasi

31 Oktober merupakan hari yang diperingati oleh orang Kristen sebagai hari yang bersejarah dimana sekian ratus tahun yang lalu, Martin Luther menuliskan dan menempelkan 95 Dalil di pintu gereja di Wittenberg, Jerman, untuk memprotes Gereja Katolik Roma dan Paus yang menjalankan praktek-praktek yang tidak Alkitabiah (terutama penjualan surat indulgensia yang dapat mengampuni dosa). Setelah itu di seluruh Eropa dan meluas ke seluruh dunia terjadi kebangunan besar-besaran umat Tuhan yang kembali kepada kehidupan berdasarkan Alkitab semata (sola scriptura).

Satu hal yang menarik dari kehidupan Martin Luther di samping segala sepak terjangnya memperjuangkan reformasi adalah salah satu perkataannya, "Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree." yang artinya adalah, "walaupun seandainya Saya mengetahui bahwa besok dunia akan hancur, Saya akan tetap menanam pohon apel Saya."

Etos kerja gereja pasca reformasi yang dicontohkan oleh baik Martin Luther maupun John Calvin dan para reformator lainnya merupakan salah satu penggerak dunia menuju ke era modern yang kita kenal hari ini. Alangkah sayangnya jika hari ini, kita kehilangan etos kerja yang seharusnya merupakan warisan umat Tuhan kepada dunia. Dan lebih sayang lagi jika hari ini, dunia mempertontonkan etos kerja Kristiani dan orang Kristen diam bermalas-malasan dan tidak memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya. 

"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Kolose 3:23


Rabu, 26 Oktober 2011

Dan Siapakah Sesamaku Manusia?

Kurang lebih satu minggu lalu, terjadi gelombang kemarahan di dunia maya akibat suatu peristiwa tabrak lari seorang anak kecil di Cina dimana anak tersebut ditabrak oleh dua mobil berturut-turut dan tidak satupun yang berhenti. Yang memperparah keadaan, 18 orang berlalu sebelum akhirnya seorang pemulung menolong anak kecil tersebut dan membuat kita bertanya-tanya tentang masih adakah belas kasihan terhadap orang asing di dunia ini.

Editor's Note: Penulis memutuskan untuk tidak memuat tautan apa pun sehubungan dengan kejadian tersebut. Laporan, video, berita, pembahasan, dan segala jenis informasi mengenai kejadian ini dapat dengan mudah ditemukan di berbagai mesin pencari di internet.

Terlepas dari keadaan anak yang ditolong tersebut, adanya orang-orang yang berlalu begitu saja setelah melihat dan adanya tokoh pemulung yang baik hati dalam kejadian tersebut dapat dengan mudah mengingatkan kita pada orang Samaria yang baik hati dalam perumpamaan yang pernah diceritakan oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 10:25-37, bukankah demikian? 

Perhatikan ayat 30-35 terlebih dahulu: 

30 "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.  
32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 
33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 
34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 
35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali."

Apa yang kita ingat pernah kita pelajari dari perumpamaan tersebut? Bukankah kita belajar mengenai sesama manusia bagi kita? Dan bahwa sesama kita manusia tidak terbatas pada hal-hal yang dilihat oleh manusia seperti ras dan agama? Dan bahwa mengasihi sesama kita manusia merupakan hal yang sangat Tuhan ingin kita lakukan? Dan bahwa dalam mengasihi maupun menolong, kita harus melakukannya sampai tuntas? Bukankah itu semua yang kita mengerti dan pelajari dari orang Samaria yang baik hati tersebut ketika kita membaca ataupun mendengar mengenai perikop itu? 

Lalu apa yang kita ingat pernah kita rasakan ketika membaca perumpamaan tersebut? Mungkin kita merasa malu, karena selama ini sering tidak bertindak seperti orang Samaria tersebut. Mungkin juga kita merasa ditegur oleh Tuhan dan diajar kembali mengenai mengasihi sesama. Dan mungkin juga serangkaian perasaan lain yang setelahnya tentu membuat kita merasa juga lebih bijaksana dan mengerti mengenai sesama manusia bagi kita. Hanya saja, tepatkah sebenarnya perasaan yang kita rasakan tersebut?

Di antara ramainya pemberitaan mengenai kejadian di awal tulisan ini dan perikop mengenai perumpamaan ini, ada sesuatu yang terasa mengganjal ketika perenungan kita berhenti sampai di sana. Dua buah kejadian, satu kejadian nyata dan satu perumpamaan yang walaupun sangat mirip, tetapi memberi kita reaksi yang berbeda. Mengapa kita tidak merasa malu ketika kita membaca berita tabrak lari tersebut? Atau mengapa kita tidak marah ketika kita membaca perumpamaan orang Samaria ini? Apakah hanya semata-mata karena kita tahu yang satu kejadian yang benar-benar terjadi dan yang satu adalah cerita dari sebuah buku?

Sebelum membaca lebih jauh, kita perlu tahu bahwa apa yang kita tahu selama ini tentang cerita ini dan apa implikasinya bagi kehidupan kita baik itu tentang mengasihi maupun hal lainnya yang terdapat di bagian awal tulisan ini adalah sesuatu yang memang benar. Dan kita harus terus berpegang kepada keyakinan bahwa kasih harus ditunjukkan kepada semua orang yang membutuhkan. Hanya saja, ada satu sisi tambahan yang sangat menarik yang bisa kita lihat lebih jauh.

Ketika kita merenungkan mengenai hal ini, adalah satu hal yang menarik ketika kita mulai membayangkan urutan kejadian yang terjadi dalam perikop tersebut. Dan dalam membayangkan atau memvisualisasikannya, biasanya satu dari dua bayangan ini yang muncul dalam pikiran kita.

Yang pertama, kita cenderung melihat kejadian ini dari atas. Kita melihat seorang yang dirampok. Kita melihat dua orang suci yang lewat tetapi tidak menolong. Lalu kita melihat orang Samaria yang baik hati yang menghampirinya dan menolongnya sampai tuntas. Sebagian besar orang akan membayangkan kejadian ini seperti demikian.

Yang kedua, bagi kita yang lebih mudah berempati dengan orang lain, kita akan cenderung melihat kejadian ini dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Kita akan membayangkan kita berjalan sebagai iman atau orang Lewi dan melihat orang yang tergeletak sehabis dirampok. Lalu kita mungkin akan merasa takut menolong atau malas menolong atau sekedar merasa bahwa menolong adalah sesuatu yang merepotkan dan lalu pergi begitu saja. Lalu kita akan melihat kembali orang tersebut dari sudut pandang orang Samaria dan merasa kasihan. Kemudian menolongnya sampai tuntas.

Hanya saja, benarkah cara memandang yang demikian? Mari kita lihat satu ayat sebelum Yesus menceritakan perikop ini:

29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"

Dan setelah menceritakan perumpamaan tersebut, Yesus bertanya kembali kepada Ahli Taurat tersebut:

36 "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"

Di dalam perumpamaan tersebut, seringkali kita mengira bahwa Yesus sedang menonjolkan tokoh orang Samaria yang baik hati tersebut. Bahwa orang Samaria yang baik hati tersebut adalah tokoh utama dari perumpamaan tersebut. Sang protagonist atau pahlawan dalam cerita itu. The Good Samaritan bahkan sudah menjadi sebuah istilah umum untuk menggambarkan orang yang rela menolong orang asing yang tidak dikenalnya. Sebegitu besarnya pengaruh orang Samaria tersebut, sampai kita tidak sadar bahwa sebenarnya dia hanyalah pemeran pembantu.

Ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus tentang siapakah sesama manusia bagi dirinya. Dan Yesus bertanya kembali kepada dia tentang siapakah sesama manusia bagi orang yang dirampok tersebut. Yesus membalikkan sudut pandang Ahli Taurat tersebut secara revolusioner. Yesus tidak menyamakan Ahli Taurat itu dengan salah seorang yang lewat dan sanggup memberikan pertolongan kepada korban perampokan. Yesus menyamakan Ahli Taurat itu dengan korban perampokan itu sendiri.

Jadi, cerita ini bukan tentang imam dan orang Lewi yang tidak menganggap orang yang dirampok tersebut sesama manusia bagi mereka. Cerita ini juga bukan tentang orang Samaria baik hati yang menganggap korban perampokan sebagai sesama manusia bagi dia. Cerita ini adalah tentang seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, dirampok habis-habisan, dan terbaring di sana menantikan sesama manusia bagi dirinya. Sudut pandang ketiga yang jarang mau kita ambil dalam membayangkan cerita ini, yaitu sudut pandang seseorang yang tergeletak, dengan pandangan yang sudah kabur melihat seorang imam dan seorang Lewi berlalu. Sampai kemudian dia melihat seorang Samaria yang seharusnya dibencinya ternyata menunjukkan belas kasihan kepada dirinya. Dan orang Samaria itulah ternyata sesama manusia bagi dirinya. Cerita ini adalah untuk menunjukkan kepada orang Yahudi tersebut bahwa sesama manusia itu bukanlah satu kategori. Sesama manusia adalah sebuah penerimaan akan keberadaan orang lain di dalam kehidupan kita.

Karena itu mari kita tulis ulang paragraf di atas. Ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus tentang siapakah sesama manusia bagi dirinya. Dan Yesus menjawab kita tidak memilih siapakah sesama manusia bagi diri kita. Kita tidak memilih tetangga kita. Tepatnya kita tidak dalam posisi bisa memilih siapakah yang akan datang menyatakan diri sebagai sesama manusia bagi kita. Tetapi siapapun yang datang, kita mendapat suatu perintah. Sangat menarik dalam perikop ini, Yesus tidak sekalipun memberikan perintah yang baru kepada Ahli Taurat itu. Bahkan semua perintah sebenarnya keluar dari mulut Ahli Taurat tersebut. Yesus hanya berkata dengan sederhana di ayat 37, "pergilah dan perbuatlah demikian." Pergilah dan perbuatlah seperti orang Samaria tersebut. .Jangan tanya lagi siapa sesamamu manusia. Pergilah dan jadilah sesama manusia bagi orang lain.

Pada akhirnya kesimpulan dan tindakan yang harus kita aplikasikan memang tidak berubah sama sekali dengan adanya sudut pandang ini. Tetapi kita setidaknya bisa melihat hal ini sebagai suatu teguran bagi kita yang berpikir bahwa kita bisa menentukan siapa sesama manusia bagi diri kita atau bahkan menghakimi bahwa ada orang yang tidak menjadi sesama manusia bagi orang lain. Ini bahkan menjadi teguran bagi kita yang berpikir bahwa kita adalah pihak yang dapat menolong orang lain. Tidak. Yesus mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi sesama manusia bagi orang lain. Bukan mencari sesama manusia bagi diri kita.

27 "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

Selasa, 19 April 2011

The Why Me Attitude

This morning, a friend sent me a very inspiring story of a man named Arthur Ashe, the first African-American male to win a Grand Slam event (click on the word if you happened to be one of those sport-blind-nerds and had never heard of a Grand Slam event before). Anyway, the story was worth reading and sharing, so I thought that the blog needed a little update. Especially after I made a promise that I was going to update this blog more frequently (3 months ago).

Arthur Ashe, born on July 10, 1943, was a seven time Grand Slam finalist with three champion titles and four runner-ups. Many critics and sport commentators named him as one of the greatest tennis player of all times. But tennis wasn't his only fight in this world. He was also known for his role as a civil rights leader, especially on Apartheid issues.

Around 1983, when he was undergoing his second heart surgery, he apparently contracted HIV during the blood transfusion. This illness later led him to his deathbed.

Now, the story got interesting when one of his fans wrote him a letter asking something like, "why did God have to select you for such a bad disease?" His idol was the great tennis player, the respected activist, the pride of America, the inspiration for the Afro-American youth. It was unthinkable for anyone that he should receive such treatment from God. If anything, he should be rewarded for his deeds rather than be punished with HIV. Remember, in the early nineties, AIDS was far more scary than it is today because of the lack of information for common folks and people with AIDS received far worse treatment from the society as compared to today.

So the man, in his fifties at the moment, answered,
"listen, 50 million children around the world start playing tennis,
5 million learn to play tennis,
500,000 learn professional tennis,
50,000 come to the circuit,
5,000 reach the Grand Slam,
50 reach Wimbledon,
8 reach the quarterfinals,
4 to the semifinals,
2 to the finals.
When I was holding the cup, I never asked God, 'why me?'
So why now in pain should I be asking Him, 'why me?'"

This kind of faith reminded me of the faith of Job. As we all know, Job had a very bad day at the moment his wife came to him (probably remembering how devoted Job was to his God but yet this kind of misfortune fell upon him) and said, "do you still hold fast to your integrity? Curse God and die!" Just like Ashe's fan. And there, we witnessed Job answered, "shall we indeed accept good from God, and shall we not accept adversity?"

God is good all the time. May this story be a blessing for us all.